Menenangkan Kekacauan di dalam Diri

Meja belajar yang berantakan
Meja belajar yang berantakan


Hari itu seperti hari-hari lainnya, langit mendung, suara burung samar, dan notifikasi dari grup WhatsApp yang tidak dibuka. Namun bagi Damar, ada sesuatu yang berbeda. Ia bangun dengan rasa berat di dada—bukan karena sedih, tetapi karena ada terlalu banyak yang menumpuk di dalam pikirannya. Mereka bersuara terlalu keras sehingga mengganggunya. 

Ide-ide yang gaduh ini bukanlah bersuara tanpa solusi. Mereka bak anak kecil yang mencari perhatian. Mereka ingin diakui keberadaannya dan dikenang dalam hati Damar. Ia pun membuka aplikasi Obsidian di laptop, tempat di mana ia sering mencurahkan isinya pikirannya agar hidupnya bisa tenang. 

Ia menuliskan hal-hal yang semalam ia baca dari buku filsafat, video yang ia tonton tentang epistemologi, dan satu-dua kutipan dari jurnal yang belum selesai ia cerna. Tulisan itu bukan karya ilmiah, tapi seperti percakapan jujur antara dirinya dan dunia. 

Ia menggunakan metode bernama Zettelkasten, yang pernah ia pelajari dari video YouTube seorang pemikir Jerman eksentrik. Prinsipnya sederhana. Ide-ide dicatat dan dihubungkan seperti simpul dalam jaring laba-laba. Damar menyukainya karena metode itu bukan hanya menawarkan wadah untuk mengenang ide-ide di dalam kepalanya yang menyeruak keluar, tetapi juga menyediakan cara untuk mengenang mereka secara sistematis walaupun ia tidak belajar secara runut. Ia hanya belajar apa yang ia sukai walaupun itu sedikit dan dangkal, terkadang tampak tidak berhubungan satu sama lain. Namun, metode tersebut mampu membuat kumpulan ide-ide yang dangkal dan tampak tidak berhubungan menjadi pengetahuan yang mendalam dengan cara melihat ulang hubungan antar ide sesedikit apa pun lalu menghubungkannya satu sama lain. Seiring bertambahnya catatan, semakin banyak ide-ide yang bisa saling dihubungkan. Menurut Damar, metode Zettelkasten tak ubahnya seperti menyusun puzzle. 

Selesai menulis, Damar menyender di kursi. Ada kelegaan di dalam dirinya seakan ia baru saja memindahkan isi kepalanya yang berantakan ke luar tubuhnya, ke dalam kata-kata yang bisa dilihat dan dirapikan agar selalu dapat dikenang olehnya. Tentu, memang itulah yang diinginkan oleh ide-ide tersebut sejak awal. 

“Aku mungkin bisa melakukan ini setiap hari,” gumamnya pelan. 

Damar tidak merasa hidupnya spektakuler. Ia tidak sedang menaklukkan dunia. Namun hari itu, ia merasa berhasil menaklukkan sedikit bagian dari kekacauan dalam dirinya sendiri. 

Itu cukup.
LihatTutupKomentar